gue

gue
aa

Sabtu, 08 September 2012

Buah dari Pluralisme


Buah dari Pluralisme

Sebuah cerita “inklusi”
Saya pernah berkenalan dan bertukar pikiran dengan seorang praktisi pendidikan, pemimpin sebuah sekolah, aktivis anak dan satu lagi.... pejuang pluralisme!!
Saking militannya memperjuangkan pluralisme ini, dia gigih menjadikan sekolahnya sebagai sekolah inklusi yang benar-benar unlimited. Ketika saya ceritakan di SDMT (tempat saya mengajar) ada program inklusi yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus (seperti siswa lambat belajar, siswa autis dan sejenisnya), beliau menampakkan kekurangpuasannya. Lalu beliau memaparkan satu bentuk inklusivitas yang ‘sebenarnya’ yaitu menampung siswa-siswa dari berbagai suku, bangsa dan agama. Bahkan saya sempat tergelitik ketika beliau menyebutkan belum adanya siswa yang berasal dari agama tertentu. “Di sini Islam ada, Kristen ada, ini ada, itu ada, yang belum ada agama ini...” kira-kira begitu kalimat yang beliau lontarkan.
Memilih nilai mana yang ditanamkan!
Saya merasa tergelitik dan merasa lucu-lucu gimana, gitu. Maaf, kayak koleksi barang antik aja....hahahaha.... Saya paham maksud beliau begitu adalah menciptakan sekolah yang benar-benar inklusif dan terbuka untuk siapa saja, sehingga siswa-siswanya bisa belajar bagaimana hidup dengan masyarakat yang beragam dan plural. Bagus!!
Tapi maaf, ada beberapa sisi yang mungkin tidak sejalah dengan SDMT tempat saya mengajar. Inklusi seterbuka itu tentu tidak bisa diterapkan di SDMT (SD Muhammadiyah Terpadu). Karena SDMT tidak bisa tidak merupakan sekolah Islam, dan bervisi menanamkan nilai-nilai Islam. Ketika siswa-siswinya datang dari berbagai macam agama, bagaimana bisa secara optimal nilai Islam diajarkan kepada siswa-siswanya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hadist-hadist Rasulullah SAW yang biasa diputar tiap jam istirahat itu diperdengarkan di depan siswa-siswi yang berbeda-beda agamanya. Nggak pas, mungkin jadi risih. Dan akhirnya pasti unsur-unsur agama seperti dikebiri, tinggal ruh-ruhnya saja, atau bisa-bisa binasa tanpa sisa. Kandungan nilai-nilai agama yang begitu kaya, baik lahiriyah, batiniyah, lahziyah dan maknawiyah akan mengalami pemangkasan luar biasa banyaknya.
Sungguh pengorbanan terlalu mahal dan besar.... kalau hanya untuk ditukar dengan “satu pelajaran” bisa hidup bersama dalam perbedaan.
Untuk mengajarkan toleransi hidup bersama dalam perbedaan haruskah sampai sejauh itu?
Padahal... semakin dalam seseorang belajar Islam seperti arti “fitrah”, “ta’aruf”, “rahmatan lil alamin”, “ummatan wasaton” dst... maka semakin dalamlah kasih sayangnya terhadap manusia lain, bisa hidup berdampingan bukan saja yang berbeda suku bangsa dan agama, bahkan dengan binatang, tumbuhan dan lingkungannya. Dan ini tidak perlu “mengkoleksi” orang-orang yang berbeda dan beragam dalam satu tempat.
Pluralitas “manusia” dan pluralitas “masalah”
Maaf lagi. Hidup damai berdampingan dengan segala perbedaan terasa sungguh indah, apalagi dibumbui dengan sikap lemah lembut dan kesantunan bersikap. Sungguh mengesankan. Tetapi sekali lagi ada yang agak aneh dengan cara belajar dan mendidik di sekolah beliau ini... satu contoh anak-anak SD itu didudukkan di teras setiap upacara hari Senin, dengan alasan kasihan capek berdiri lama-lama.
Rupanya, maaf dalam pandangan sekilas saya, yang diperkenalkan di sekolah ini masih seputar pluralitas ‘manusia’ bukan pluralitas ‘kesulitan hidup’ yang pasti datang dan akan dihadapi para siswa nantinya.
Berdiri sekitar 40-an hingga 60-an menit bagi anak SD, saya kira belum termasuk bentuk “penganiayaan” yang harus dihindari sedemikian rupa. Justru ini merupakan pembelajaran mengenal “sedikit” sulitnya hidup, di mana kehidupan yang sebenarnya jauh lebih sulit dari sekedar berdiri satu atau dua jam. Terlalu mem-proteksi anak dari berbagai kesulitan, sedikit tekanan perasaan, situasi yang kurang menyenangkan, kondisi-kondisi yang agak keras dan sejenisnya justru “membohongi” anak akan keadaan hidup yang sebenarnya. Anak-anak yang terbiasa diproteksi, dilindungi dan dimanja kerapkali akan canggung, menghindar, dan shock ketika berhadapan dengan kesulitan hidup yang kadang hadir dan dihadirkan alam dengan ‘paksa’.
Mencoba mengikuti apa mau “pluralisme”
Yeni Abdurrahman Wahid, layaknya penerus sang ayah yaitu Gus Dur yang menurut kata banyak orang sebagai Bapak Pluralisme, kemaren ketika meninggalnya Franky Sahilatua memberikan komentar bela sungkawa dan penghargaan atas jasa Franky yang setia memperjuangkan kebhinekaan (pluralitas). Yeni, Gus Dur, atau berbagai forum pejuang pluralisme seperti sedang merasa “asyik” menggolkan perjuangannnya ini. Dari membela pakaian-pakaian tradisional dari gilasan RUU anti pornografi hingga membela Ahmadiyah dari ancaman pembubaran. Semua dengan dalih mempertahankan kebhinekaan dan pluralitas.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bila pluralisme ini kehilangan pandangannya dan “gelap mata” begini. Ironis lagi, yang menyuarakan itu adalah orang yang cukup memahami agama Islam. Sepertinya mereka ingin mengangkat wajah agama Islam agar nampak “lebih manis” di mata umat lain dan bangsa-bangsa di dunia, atau barangkali mereka memang tidak peduli itu. Mungkin mereka tengah terpesona dengan ‘jargon baru’ dari ‘dunia baru’ yang bernama Amerika dan Kebebasan itu.
Kalau anggota badan saja jari-jemari, rambut, kaki, tubuh, muka, telinga, hidung dan lain sebagainya yang jelas-jelas plural, mengapa kehidupan harus diseragamkan??!! Dalih ini mungkin bisa dibenarkan dan bisa mereka jadikan alasan. Tapi ketika tumbuh kutil di jari, tumor di leher, panu di kulit, dan berbagai penyakit lainnya. Mengapa mereka tetap mempertahankan itu seraya berdalih itu bagian dari pluralitas tubuh!?? Sebab inilah yang terjadi dengan kasus Ahmadiyah.
Kehadiran madzab-madzab fiqih, bahkan sekte-sekte seperti Sunni dan Syiah, dalam kadar tertentu dalam Islam bagaikan corak-corak rambut dikepang, ditata lurus, atau dibelah tengah, dan semua masih sah-sah saja.
Berbeda dengan Ahmadiyah yang muncul di Islam, bukanlah bagaikan telinga yang tercipta di bagian kepala, atau bukanlah bagai rambut yang tumbuh di kepala, bukan!! Tapi kehadiran Ahmadiyah di Islam bagaikan tumbuhnya tumor di leher, panu di kulit dan sejenis penyakit lainnya. Bukan dipelihara, tapi harus dibasmi!!
Tapi “teman-teman pluralisme” terutama dari kaum muslimin sendiri, mengapa kehilangan pandangan ini??!! Kalau orang yang tidak paham Islam, masih bisa dimaklumi, tetapi justru mengapa datang dari orang-orang yang kenyang dengan pesantren dan pendidikan Islam.
Isu RUU Anti Pornografi
Tak jauh beda dengan isu Ahmadiyah.
Dalam RUU Anti Pornografi konon disebutkan bahwa berbagai jenis pakaian ketat yang menonjolkan aurat wanita itu termasuk pornografi. Sontak kaum pluralisme menolaknya!
“Ini ancaman terhadap kebhinekaan dan warisan budaya bangsa, tolak RUU ini!!
Betapa sayangnya ya, Rike Diah Pitaloka dengan kebaya dan pakaian seksi warisan budaya lokal itu. Ataukah memang dia belum mengerti apa kandungan nilai dari adab berpakaian yang diajarkan Al-Quran. Menurutnya dan menurut orang Islam pejuang pluralisme itu, untuk apa mempermasalahkan nilai yang tidak substansial semacam soal berpakaian seperti ini, bukankah masih banyak nilai-nilai Islam yang bisa diperjuangkan dan tidak sekedar simbol-simbol seperti itu. Masya allah... Bagaimana bisa mereka “meremehkan” urusan berpakaian padahal Al-Quran sendiri menyebutnya berulang-ulang kali. Al-Quran tidak hanya bicara nilai-nilai universal semacam kejujuran, keadilan, penegakan hukum, kesamaan derajat manusia, dan sejenisnya. Tapi Al-Quran juga memandang penting yang dikira orang kurang penting dan hanya simbol belaka, semisal berjilbab dan menutup aurat. Barangkali “sepele” bagi pandangan sebagaian orang, tapi Allah Maha Tahu seberapa “besar” dampak dari yang mereka anggap sepele itu, dan seberapa besar “fitnah” yang merebak di masyarakat hanya karena bersumber dari cara berpakaian.
"Nyatakanlah kebenaran, dan bukan selalu membenarkan kenyataan"
"Kenyataan" berbicara bahwa memang banyak warisan budaya manusia yang sarat pornografi, tetapi "kebenaran" dari Tuhan berkata bahwa manusia layaknya berbusana yang patut dan menutup aurat. Ketika ayat-ayat Tuhan itu datang, akankah "budaya" (budidaya manusia) itu dibela dan dipertahankan? Sekuat itukah "keimanan" mereka pada budaya itu?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar