gue

gue
aa

Sabtu, 08 September 2012

Menjinakkan Emosi yang Tengah Membara?


Menjinakkan Emosi yang Tengah Membara?

Seseorang yang dulu miskin menggelandang merasakan nasi dengan lauk krupuk dan sambal itu nikmat sekali, tapi ketika jadi kaya dan terbiasa enak merasakan lauk pauk yang itu-itu saja terasa berat dan membosankan. Barangkali inilah yang disebut dengan "prespektif" itu, atau orang Jawa bilang "wang-sinawang" ....
Rata-rata orang memiliki pengalaman enak dan tidak enak yang cukup komplit, tapi sayangnya kurang pandai mengelola pengalaman itu untuk dihadirkan di dirinya sewaktu mengalami sesuatu yang berat. 
Misalnya, seorang ibu tengah menunggu jemputan anaknya. Karena saking lamanya menunggu, si ibu ini habis kesabaran dan marah-marah bukan alang kepalang. Mengapa ini harus sampai terjadi?!
Bagaimana mengontrol amarahnya?
Kesabaran si ibu ini sebenarnya bisa dibangun demi meredam dan mendinginkan amarahnya. Bagaimana caranya? 
Mudah sekali caranya, si ibu cukup ditanya: "Kalau terpaksa memilih dua berita ini, maka mana yang Anda pilih? Berita pertama anak Anda tewas kecelakaan di jalan dan tidak pernah bisa menjemput Anda; ataukah berita kedua bahwa anak Anda tidak jadi menjemput Anda karena ia tidak peduli dengan Anda dan lebih mementingkan acaranya sendiri." 
Kalau harus memilih kedua pilihan buruk ini, tentu Anda akan memilih berita kedua. Padahal kenyataan yang tengah Anda hadapi... adalah jauh lebih baik dari 'dua pilihan buruk' itu, yaitu anak Anda 'hanya' terlambat menjemput Anda.
Jadi mengapa Anda harus sesuntuk, semarah, dan sekecewa ini?!!
"Membayangkan" hal-hal buruk semacam ini sangatlah penting agar seseorang bisa menghargai betul nikmat yang tengah dirasakan. Di balik kekecewaan kita dengan keadaan kita sekarang, sesungguhnya masih tergolong "lebih baik" dan selalu ada kemungkinan lain yang lebih buruk. Bahkan, dalam titik paling nadir sekalipun, seseorang itu tetaplah harus merasa beruntung karena dia masih "ada", sebab aslinya memang dia tidak ada.

Jadi kalimat yang terucap itu adalah "syukurlah" hanya terlambat, tidak celaka.
Dan ribuan kalimat syukur lain ..
"Syukur, saya bisa kerja keras di sini, daripada tersiksa karena menganggur..." 
"Syukur, saya luka-luka lecet begini, daripada celaka kayak dia..."
dst.
Jangan biarkan diri Anda terjebak dengan perasaan Anda "sekarang", hadirkan bayangan seribu kemungkinan lebih buruk lain yang bisa saja Anda alami. Dan syukurlah, itu tidak Anda alami sekarang. Inilah cerdas emosional ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar