gue

gue
aa

Sabtu, 08 September 2012

Memerdekakan Pendidikan


Memerdekakan Pendidikan

Pendidikan nasional kita sudah seharusnya memasukkan pendidikan jiwa merdeka, mewujudkan kepribadian sebagai warga negara yang sudah merdeka. Pendidikan ini merupakan kebalikan dari jiwa pendidikan kolonial yang hanya menyiapkan peserta didik menjadi pegawai. 
Pendidikan kolonial hanya menyiapkan peserta didik menjadi pegawai
Cita-cita anak didik yang hanya ingin menjadi pegawai, membuat mereka tak mampu membuka mata untuk melihat apa  yang harus dikerjakan dan apa yang harus dipikirkan. Selain sekadar menjadi pegawai. Kita sudah lama merdeka. Seharusnya sudah ada perubahan. Bahkan pembaruan dalam jiwa pendidikan.

Ada beberapa kerusakan mental dari pendidikan kolonial.  

Pertama, orang yang sudah bersekolah tak mau bekerja kalau tidak menjadi pegawai. Mata hatinya pun tertutup dan pikirannya buntu. Tidak melihat dan mengerti pekerjaan maupun usaha-usaha yang masih amat banyak dan sangat bermanfaat dikerjakan.

Kedua, anak atau pemuda yang tidak diangkat atau tidak mendapat tempat dalam kepegawaian akan kecewa dan frustasi. Yang lebih berbahaya jika kekecewaan ini menggerakkan mereka melakukan hal-hal yang merusak dan merugikan. Seperti menjadi pencopet, penggedor, penipu, penyuap, atau menuntut-nuntut (unjuk rasa), dan lain-lain.

Ketiga, apabila mereka sudah diangkat menjadi pegawai dan sudah meraih cita-citanya itu, mereka pun “mati”. Tidak berbuat apa-apa jika tidak diperintah atasannya. Tidak melihat hal-hal yang masih dapat dikerjakan dan diusahakan untuk kepentingan pribadi, masyarakat dan negara.

Keempat,  lemahnya perekonomian bumiputera (non penjajah). Karena anak-anak pribuni yang bersekolah hanya bercita-cita menjadi pegawai, tidak berpikir dan tidak mengetahui usaha-usaha perekonomoian kecil dan menengah yang masih dapat dikerjakan. Akibatnya perekonomian dan perdagangan kecil dan menegah dalam negeri pun sekarang ini masih dipegang orang-orang non-pribumi yang tidak bersekolah. Apa sebabnya? Karena mereka tidak mungkin dan tidak ingin jadi pegawai.
apabila mereka sudah diangkat menjadi pegawai dan sudah meraih cita-citanya itu, mereka pun “mati”. Tidak berbuat apa-apa jika tidak diperintah atasannya
 
Ada sedikit kalangan orang bumi putera yang tidak sekolah, lalu berhasil memegang peranan dalam ekonomi. Kemudian mereka menyekolahkan anaknya agar usahanya dapat meningkat. Tetapi ternyata, sesudah anak itu lulus sekolah, sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada yang mau meneruskan usaha orangtuanya. Mereka lebih senang menjadi pegawai karena menganggap menjadi pegawai kedudukannya lebih terhormat dan penghidupan lebih terjamin.

Bagaimana memberantasnya? Yang jelas, caranya dengan menanamkan pendidikan nasional yang memiliki jiwa merdeka, memiliki keyakinan hidup, berkepribadian, berakhlak, dan ber-Tuhan. Sejak pendidikan di lingkungan rumah tangga, taman kanak-kanak, hingga perguruan tinggi.

Ada istilah “wiraswasta”. Istilah ini sering diartikan sebagai pengusaha swasta yang sukses. Padahal sebenarnya yang harus diambil ialah “jiwa kewiraswastaannya”. Dalam kata-kata ini terkandung maksud kebebasan, kepribadian, dan keyakinan hidup.
Pegawai yang baik ialah yang dapat hidup tidak sebagai alat yang mati
Jiwa kewiraswastaan yang berdasarkan Pancasila dan Garis-Garis Besar Hasulan Negara (GBHN) – tulisan ini ditulis ketika GBHN masih ada – harus ditanamkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Andaikata sesudah itu mereka menjadi pegawai, insya allah mereka akan menjadi pegawai yang baik, yang dapat hidup tidak sebagai alat yang mati.
Ditulis oleh KH. Imam Zarkasyi
Salah Satu Pendiri Pondok Modern Gontor (wafat 9 April 1985)
Beliau pernah ditawari Presiden Soekarno untuk menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi lebih memilih menjadi Pengasuh Pondok Modern Gontor, seraya berucap,”Biarlah saya tidak menjadi Menteri, insya Allah anak didik sayalah yang akan menjadi Menteri-menteri”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar